islam

assalamu'alaikum akhi wa ukhti..........? ahlan wa sahlan di blog ridho ilmiansyach

Sabtu, 08 Mei 2010

Keajaiban Sedekah

Assalamualaikum ustad, saya ingin bercerita tentang pengalaman sedekah, bermula ketika saya menikah 6 tahun yang lalu saat itu dilingkungan rumah banyak terdapat orang tidak mampu termaksud tukang becak mungkin karena hati saya selalu tidak tega untuk melihat disekitarnya saya sering sedekah mula-mula hanya 5000 namun lama kelamaan semakin meningkat jumlahnya sungguh balasan yang diperoleh cukup cepat terbalas salah satunya saya ingat ketika uang yang ada didompet saya tinggal 20 rb datang tetangga yang berniat meminjam tp selama ini saya percaya akan ada balasannya saat itu juga saya berikan dan ternyata selang 10 menit telpon berdering memberitahukan suami saya untuk lembur dan langsung dibayar sebesar 180 rb ya sedekah selalu membawa kita kepada balasan dari Allah terbukti ketika saya akan melahirkan anak saya yang pertama 2 hari dua malam saya menderita pada saat anak saya sudah terlahir badan saya bergetar seluruhnya darah saya naik saat itu terlintas dpikiran saya untuk menyebut laillahhailaullah namun benar pak ustad untuk menyebut itu susah seperti ada yang menyangkut ditenggorokan saya terus berusaha terus sampai akhirnya saya bisa menyebutnya setelah selesai menyebut dalam hati saya cukup lega karena setelah itu saya langsung pingsan dan masuk ruang icu subbanaullah sejak kejadian itu saya terus giat untuk memberikan sedekah alhamdulillah saat ini keinginan suami saya untuk bekerja diluar negeri terkabulkan saya percaya itu semua dari sedekah yang kita lakukan selama ini (tidak bermaksud ria)

Selasa, 27 April 2010

 
ALLAH Tidak Ridha Kepada Orang yang Putus Asa

KEBIASAAN orang-orang besar yang dekat dengan Allah swt. adalah berjalan-jalan di sekelilingnya. Bukan sekadar berjalan-jalan belaka, tapi lebih untuk melihat dari dekat apa yang sedang terjadi. Biasanya mereka menjadikan semua itu sebagai perenungan lain. Begitu pula dengan Imam Abu Hanifah.

Suatu hari, ketika Imam Abu Hanifah tengah melakukan kebiasaannya itu, ia melewati sebuah rumah. Rumah itu terletak di pedesaan. Jendelanya terbuka. Tanpa diduga, dari dalam rumah tersebut terdengar suara orang mengeluh dan menangis. Cukup keras. Abu Hanifah mencoba mendekat, agar bisa mendengar lebih jelas. Ia melakukannya dengan perlahan-lahan, seolah tidak ingin diketahui oleh empunya rumah.

"Aduhai, alangkah malangnya nasibku ini,” suara itu sekarang makin kedengaran dengan jelas, “agaknya tiada seorang pun yang lebih malang daripadaku. Nasibku ini sungguh celaka. Aku memang tidak beruntung. Sejak dari pagi, belum datang sesuap nasi atau makanan pun lewat di kerongkongku. Badanku lemah lunglai. Oh, adakah hati yang berbelas-kasihan sudi memberi curahan air walaupun setitik?"

Abu Hanifah terperanjat. Ia merasa kasihan. Di samping itu, ia juga merasa bertanggung jawab, ada seorang yang begitu memerlukan pertolongan tetapi ia tidak mengetahuinya. Bagaimana kalau ia tidak peduli, tentu Allah akan semakin tidak ridha kepadanya. Bergegas Abu Hanifah pun kembali ke rumahnya dan mengambil sebuah bungkusan. Bungkusan itu berisi uang. Hendak diberikan bungkusan itu kepada orang tersebut. Abu Hanifah bergegas kembali ke rumah orang tersebut.

Setelah tiba, Abu Hanifah melemparkan begitu saja bungkusan itu ke rumah orang yang sedang meratap-ratap itu lewat jendelanya. Lalu ia pun meneruskan perjalanannya. Untuk sementara waktu, kelegaan terasakan oleh Abu Hanifah.

Mendapati sebuah bungkusan yang tiba-tiba saja datang dari arah jendelanya yang terbuka, bukan buatan terkejutnya orang tersebut. Sambil masih terus bertanya-tanya dalam hati, dengan tergesa-gesa ia membukanya. Setelah dibuka, tahulah ia bungkusan itu berisi uang. Cukup banyak ternyata. Namun tidak hanya uang. Juga ada secarik kertas di dalamnya. Kertas itu bertuliskan kata-kata Abu Hanifah yang isinya, “Hai kawan, sungguh tidak wajar kamu mengeluh seperti itu. Sesungguhnya, kamu tidak perlu mengeluh atau meratapi tentang nasibmu. Ingatlah kepada kemurahan Allah dan cobalah memohon kepadaNya dengan bersungguh-sungguh. Jangan suka berputus asa, hai kawan, tetapi berusahalah terus."

Karena diliputi kegembiraan mendapati bungkusan berisi uang, orang itu cenderung tidak mengacuhkan isi surat itu. Ia pun bersuka cita membelanjakan uang itu untuk kebutuhan sehari-harinya.

Keesokan harinya, Imam Abu Hanifah melalui lagi rumah itu. Tapi ternyata, dari luar suara keluhan itu kedengaran lagi. Masih orang itu juga. "Ya Allah, Tuhan Yang Maha Belas Kasihan dan Pemurah, sudilah kiranya memberikan bungkusan lain seperti kemarin, sekadar untuk menyenangkan hidupku yang melarat ini. Sungguh jika Engkau tidak beri, akan lebih sengsaralah hidupku," ratapnya.

Mendengar keluhan itu lagi, maka Abu Hanifah pun lalu melemparkan lagi bungkusan berisi uang dan secarik kertas dari luar. Tampaknya ia sudah menyiapkan bungkusan itu sebelumnya. Dan seperti biasanya, lalu dia pun meneruskan perjalanannya.

Orang itu kembali merasa beruntung melonjak-lonjak riang. Ia sudah yakin bungkusan itu pastilah berisi uang seperti yang ia terima sebelumnya. Tapi setelah itu, ia membaca tulisan dalam kertas yang tersampir bersama bungkusan uang itu. "Hai kawan, bukan begitu cara bermohon. Bukan begitu cara berikhtiar dan berusaha. Perbuatan demikian 'malas' namanya, dan putus asa kepada kebenaran dan kekuasaan Allah. Sungguh tidak ridha Tuhan melihat orang pemalas dan putus asa, enggan bekerja untuk keselamatan dirinya. Jangan, jangan berbuat demikian. Raihlah kesenangan dengan bekerja dan berusaha. Kesenangan itu tidak mungkin datang sendiri tanpa dicari atau diusahakan. Orang hidup harus bekerja dan berusaha. Allah tidak akan memperkenankan permohonan orang yang malas bekerja. Allah tidak akan mengabulkan doa orang yang berputus asa. Sebab itu, carilah pekerjaan yang halal untuk kesenangan dirimu. Berikhtiarlah sedapat mungkin dengan pertolongan Allah. InsyaAllah, akan dapat juga pekerjaan itu selama engkau tidak berputus asa. Nah, carilah segera pekerjaan. Aku doakan semoga bisa berhasil."

Usai membaca surat itu, dia termenung. Kali ini, dia insaf dan sadar akan kemalasannya. Selama ini dia sama sekali tidak berikhtiar dan berusaha.

Keesokan harinya, dia pun keluar dari rumahnya untuk mencari pekerjaan. Sejak hari itu, sikapnya pun berubah mengikuti ketentuan-ketentuan hidup. Ia juga tidak pernah melupakan orang yang telah memberikan nasihat itu.

Sabtu, 27 Maret 2010

KEPEMIMPINAN DALAM ISLAM

Islam mengajarkan tentang apapun mengenai kehidupan, baik kehidupan di dunia, maupun kehidupan selanjutnya; yaitu kehidupan akhirat. Banyak cara yang dilakukan manusia dalam menjalani kehidupan ini, dan tentunya kehidupan yang baik adalah kehidupan yang teratur dan seimbang. Terlebih lagi, karena kita adalah muslim, maka bukan hanya sekedar keteraturan yang dibutuhkan, tetapi juga keteraturan yang diridhai oleh Allah swt. Hidup sesuai dengan aturan-Nya, berpedomankan pada Al-Quran dan As-Sunnah.

Untuk hidup menjalani keteraturan hidup tersebut, manusia memerlukan hukum. Untuk itu Allah swt. menuangkan hukum-Nya dalam kitab-kitab-Nya yang diturunkan kepada para nabi dan rasul di tiap-tiap zamannya. Peran nabi dan rasul tersebut tiada lain untuk membimbing dan memimpin umatnya dalam tujuan bersama, yaitu untuk mencapai ridha Allah dengan jalan menaati setiap hukum-Nya sehingga akan tercapailah keteraturan hidup.

Nabi Muhammad saw. sebagai utusan Allah untuk umat akhir zaman, sejak masa hidupnya telah mengajarkan kepada umatnya tentang hukum Allah sebagaimana yang tertera pada Al-Quran. Dalam hal ini, beliau berada dalam posisi sebagai pemimpin bagi umatnya. Maka setelah beliau wafat, siapakah yang berhak memimpin umat? Sedangkan seperti yang kita ketahui bahwa tak ada nabi lain setelahnya.

Dalam sejarah, kita tahu bahwa sepeninggal beliau saw., adalah Khulafaur Rasyidin yang bertindak sebagai pemimpin (yang memimpin umat islam). Tetapi sesungguhnya saat itu pula terjadi perpecahan di antara umat ini dikarenakan banyaknya perbedaan pendapat mengenai kepemimpinan. Perbedaan di dalam sesuatu hal itu biasa, dan bisa saja kita pandang sebagai kekayaan berdasarkan keragaman yang ada. Tetapi pada kenyataannya, kelompok-kelompok masyarakat yang telah menggolongkan diri mereka pada kelompok tertentu dari pada kelompok lainnya itu terkadang satu sama lain saling menyalahkan atau lebih buruk lagi; saling mengkafirkan.

Hal ini tentu sangat buruk badi perkembangan Islam sebagai agama yang diridhai oleh Allah swt. Masalah perbedaan pendapat sesungguhnya hanya dapat diselesaikan dengan cara musyawarah berdasarkan logika dan akal sehat kita, di mana akal ini telah dikaruniakan oleh Allah kepada kita sebagai manusia. Dengan akal ini kita dapat menentukan tentang kebenaran suatu pendapat, dan janganlah sekali-kali kita menyatakan kebenaran berdasarkan ego kita masing-masing.

Kebenaran haruslah dijunjung tinggi. Karena kebenaran adalah sesuainya pernyataan dengan kenyataan. Kenyataan (realitas) tidaklah mungkin menipu, akan tetapi pemahaman kitalah yang bisa jadi belum sampai pada realitas tersebut. Atau pahaman kita sebenarnya telah sampai pada realitas (kenyataan), namun egoisme kitalah yang menyuruh untuk menolaknya.

Dalam hal ini, mungkin sedikitnya kita dapat memahami mengapa Allah swt. menentukan orang-orang yang menjadi nabi dan rasul, juga pemimpin adalah kaum laki-laki, seperti yang kita ketahui bahwa kaum laki-laki lebih banyak menggunakan logikanya dalam menyelesaikan suatu permasalahan dibandingkan dengan kaum perempuan yang lebih banyak menggunakan emosi dan perasaan. Ini bukanlah bentuk diskriminasi, tetapi ini merupakan hukum Allah di mana segala sesuatu itu sudah seharusnya ditempatkan pada tempatnya masing-masing. Dan sesungguhnya sistem yang dibuat oleh Allah swt. sangat sempurna, tidak pernah sedikitpun terdapat cela dalam padanya.

Kembali lagi ke pokok permasalahan; yaitu tentang kepemimpinan dalam masyarakat Islam. Memang benarlah tidak ada nabi lagi setelah Nabi Muhammad saw., tetapi hal tersebut bukan berarti tidak ada lagi pemimpin sesudah beliau saw. Seiring berjalannya waktu, telah bermunculan pemimpin-pemimpin yang memimpin umat di tiap-tiap daerah di bumi Allah ini. Menjadi pemimpin itu mudah, tetapi menjadi “pemimpin yang hebat” itu yang sulit. Banyak orang yang berambisi menjadi pemimpin, padahal rasulullah saw. melarang setiap muslim berambisi sebagai pemimpin, kecuali jika ia telah dipercaya oleh yang lainnya untuk menjadi pemimpin. Memimpin bukanlah sekadar perbuatan iseng belaka, memimpin adalah tugas, sesuatu yang benar-benar akan ia pertanggungjawabkan setelahnya, baik di dunia maupun di akhirat kelak.

Rasulullah saw. berkata kepada Abdurrahman bin Samurah, janganlah engkau menuntut suatu jabatan. Sesungguhnya jika diberi karena ambisimu maka kamu akan menanggung seluruh bebannya. Tetapi jika ditugaskan tanpa ambisimu maka kamu akan ditolong mengatasinya”. (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Dalam hadits tersebut telah jelas bahwa Islam sangat menjunjung tinggi nilai keikhlasan dalam berbuat, termasuk melakukan tugas sebagai pemimpin umat. Selain itu islam juga memberi peluang kebebasan berpendapat dalam musyawarah, terutama dalam menentukan pemimpin bagi tiap-tiap mereka.

Tetapi bagaimana jika seseorang yang telah dipercayakan untuk menjadi pemimpin malah menolak tugas tersebut?

Barangsiapa yang diserahi kekuasaan urusan manusia lalu menghindar (mengelak) melayani kaum lemah dan orang yang membutuhkannya maka Allah tidak akan mengindahkannya pada hari kiamat. (HR. Ahmad)

Telah jelas orang yang benar-benar dipercaya tetapi malah menolaknya atau malah menyia-nyiakan kepercayaan orang lain kepadanya, maka ia akan mendapatkan balasan setara dengan apa yang ia perbuat di hari akhir nanti.

Maka dari itu, untuk menentukan pemimpin itu sama sulitnya dengan memimpin. Tidak dapat semau-maunya menentukan seseorang untuk menjadi pemimpin. Maka perlu ada pertimbangan dari semua pihak, terutama bagi mereka yang akan dipimpinnya. Dalam hal ini, sekurang-kurangnya ada lima hal yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin. Diantaranya yaitu;

1. Muslim

Islam tidak membenarkan adanya golongan orang kafir yang memimpin umat islam. Dalam hal ini pula maknanya bukan hanya sekedar beragama islam dalam kartu identitasnya, tetapi juga benar-benar menjalankan apa-apa yang terdapat dalam ajaran itu sendiri

2. Adil

Keadilan memang sudah seharusnya ditegakkan. Dan hal tersebut adalah tugas seorang pemimpin dalam memimpin umatnya, sebagaimana sabda Rasulullah saw.;

“Sesungguhnya orang-orang yang berbuat adil di mata Allah berada di atas mimbar yang terbuat dari cahaya, berada di sebelah kanan Ar-Rahman Azza wa Jalla. Yaitu mereka yang berbuat adil ketika menetapkan putusan hukum, dan adil terhadap pengikut dan rakyanya.” (HR. Muslim)

3. Berilmu

Pemimpin yang berilmu akan jauh lebih baik dari pada pemimpin yang tidak berilmu dalam melaksanakan tugas kepemimpinannya. Pemimpin yang berilmu akan dapat mengetahui strategi terbaik bagi umatnya untuk mencapai tujuan bersama.

4. Melaksanakan hukum Allah swt.

Untuk menjadikan masyarakat yang teratur, yaitu teratur sesuai dengan aturan Allah, maka tugas pemimpinlah menggunakan hukum yang Allah sampaikan melalui firman-firman-Nya dalam Al-Quran dalam melaksanakan tugasnya dalam hal memimpin umat.

5. Bersikap sama rata dan tidak berlaku zalim.

Seorang pemimpin tidak sepantasnya memilih-milih dalam memberikan hak atas umatnya, apalagi melihatnya berdasarkan ras, golongan, atau semacamnya. Bersikap sama rata menunjukkan bahwa di Islam pun tidak membeda-bedakan umatnya, apakah dia golongan bangsawan atau pun rakyat biasa. Apakah ia orang arab atau pun luar-arab. Selama orang tersebut adalah muslim, maka sudah sepantasnya ia memperoleh haknya sebagai orang Islam.

Kemudian tidak berlaku zalim; Jika seseorang pemimpin berbuat zalim, maka keteraturan tidak akan tercipta, bahkan kekaucauan sistemlah yang akan terjadi. Allah swt. berfirman:

“Dan janganlah kamu taati orang-orang yang melampuai batas.(yaitu) mereka yang membuat kerusakan di bumi dan tidak mengadakan perbaikan.” (QS. Asy Syu’ara: 151-152)

Untuk itu, kita selaku muslim yang telah mengetahui bahwa segala sistem kehidupan itu telah ditetapkan oleh Allah pada tiap-tiap hukum-Nya, maka sudah sepatutnya kita melaksanakan apa-apa yang seharusnya kita lakukan sesuai dengan aturan-Nya.

Setiap kita memang tidak akan ditugaskan semua untuk memimpin umat, karena dalam hal kepemimpinan perlu ada subjek ‘pemimpin’ dan ‘yang dipimpin’. Tetapi hal tersebut bukan berarti kita menyepelekan tugas sebagai pemimpin. Bukankah dalam surah Al-Baqarah telah dijelaskan bahwa tugas kita di dunia, salah satunya yaitu menjadi khalifah? Di mana kita sudah seharusnya berusaha menjadi pemimpin bagi diri kita sendiri, karena kelak kita akan dimintai pertanggungjawaban atas apa-apa yang telah kita perbuat semasa kita hidup di dunia ini.